Sabtu, 14 November 2009

TELUR ASIN GA' ASIN LAGI


teLor asiN udaH gag asiN Lagii..(episode-2)
In dUariUs on 12 January 2009 by eNgga Tagged: ilmiah, jahe, lpir, ori, pedas, penelitian, smp, telor asin



kesimpuLan :

berdasarkan hasil pengamatan secara cermat secermat – cermatnya sampek mencret2 *hhahahaa, bcanda men!!* dan analisis *temennya analisus* menunjukkan:

====Ekstrak jahe yang dicampurkan pada larutan garam untuk pengasinan telur itik dapat menambah rasa dan aroma asin, yaitu rasa dan aroma jahe. Pada hari kelima proses difusi dan osmosis *asal tulis ajja, biar keliatan kayak orang pinter* ekstrak jahe ke dalam telur baru pada bagian putih telur, belum sampai pada kuning telur. Ini ditunjukkan pada rasa dan aroma jahe saat memakan putih telur. Rasa jahe pada kuning telur baru terasa pada hari ketujuh. Selain itu, ekstrak jahe yang berdifusi osmosis *??##R#!#^^()()##$!* dengan isi telur ternyata tidak menyebabkan perubahan warna pada telur asin.

=====Pada pencampuran ekstrak cabe, hari kelima minyak atrisi cabe berosmosis lewat pori cangkang dan membran telur itik dan berdifusi dengan albumen. Ini dibuktikan oleh 60 persen observer dapat merasakan rasa pedas pada albumen, sedangkan kuning telur belum terasa pedas. Pada hari ketujuh pengasinan, ekstrak cabe telah berdifusi dengan seluruh isi telur, baik putih maupun kuning telur. Seperti halnya ekstrak jahe, ekstrak cabe tidak mempengaruhi warna isi telur.

=====Hal yang kurang lebih sama terjadi pada pencampuran ekstrak jeruk. Pada hari kelima, ekstrak jeruk berdifusi hanya sampai pada putih telur. Hari ketujuh ekstrak jeruk baru semakin kuat memberi rasa pada albumen dan kuning telur. Sama dengan dua ekstrak sebelumnya, ekstrak jeruk juga tidak banyak mempengaruhi albumen dan kuning telur.
Dari serangkaian penelitian tersebut, diketahui bahwa membuat telur asin dengan aneka rasa dapat dilakukan dengan mencampur ekstrak jahe, cabe, atau ekstrak jeruk saat pengasinan telur. Hasil penelitian ketiga mbak gw ini termasuk salah satu finalis Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) 2004 yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) *sebenernya gw jugag ikut, berhbung belom mandi, jd ditndang dr pesawat ama kondekturnya*

Selain itu, terus dilakukan pembaruan teknik pengolahan agar lebih memenuhi standar kualitas produk, termasuk soal keawetan dan daya tahannya.

eNiwEi oN a diFfereNt tOpic………(tp masih agak nyambung dikit)

tiga mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang, yaitu Eli Subandiyah, Novita Rahmawati, dan Nichia Alies *sumpaH, gw gag kenaL* terUs meLakukan pembaruan teknik pengolahan agar lebih memenuhi standar kualitas produk, termasuk soal keawetan dan daya tahannya. *denger2 seh getoo*

Menurut mereka, selama ini yang tersedia di pasaran adalah telur asin yang dimasak dengan cara kukus, rebus, atau oven. ”Kami mencoba melakukan diversifikasi produk dengan model sangrai,” ujarnya dengan bangga.

Eli menjelaskan, pengasinan merupakan proses penetrasi garam ke dalam telur dengan cara difusi. Proses difusi terjadi setelah garam berubah menjadi ion Na+ dan Cl- *jadi inget kimiaa…*. Garam berfungsi sebagai pengawet dan pemberi rasa (flavour), sementara air sebagai media difusi (carrier).

Jumlah penetrasi air ke dalam telur telah mencapai ideal pada masa pengasinan. Namun pada saat telur direbus terjadi penambahan kadar air. Kelebihan kadar air inilah yang mengurangi keawetan telur asin,” ujarnya lagi. Untuk itulah, ketiga mahasiswa ini membuat diversifikasi produk telur asin yang kadar airnya tidak terlalu tinggi. ”Kondisi itu bisa tercapai dengan metode oven atau sangrai,” jelasnya.

Berdasarkan uji organoleptik terlihat telur asin sangrai memiliki tingkat keamisan yang rendah (36,62 persen), namun lebih awet tiga minggu dibandingkan dengan telur asin rebus.

Indikator lain seperti tingkat kemasiran, tekstur kuning, tekstur putih telur, tekstur cangkang, dan tekstur warna cangkang telur asin sangrai juga lebih baik.

Mengapa bisa demikian? Sebab kadar air dalam telur sangrai tidak berlebihan. Kadar air telur asin rebus sekitar 42,77 persen, sedangkan sangrai hanya 37,09 persen.

Proses pembuatan telur asin sangrai tak jauh berbeda dengan model rebus. Bedanya hanya pada pemasakan. Telur asin rebus biasanya dimasak dengan cara direbus selama dua jam. Sedangkan telur asin sangrai mula-mula direbus selama 30 menit, kemudian disangrai selama satu jam.

Penelitian tentang telur asin sangrai ini telah diikutkan dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa (Pimnas) 2006 di Universitas Muhammadiyah Malang. Meski tidak menggondol piala, kata anggota tim Novita Rahmawati, tak terlampau kecewa *syukurin ajja dehh..*.

Mereka merasa berhasil meningkatkan kualitas telur asin, yakni lebih awet.

1 komentar:

  1. ayo kita bwt yang lebih ok lg ntuk mencapai hsil produk telur asin yang bener2 meningkatkan mutu dan nilai tambah..........

    BalasHapus